Rabu, 02 September 2020

Teori Konstitusi

 


Bersamaan dengan teori Negara hukum, konstitusi berdasarkan kilas sejarah telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Hal ini berdasarkan teori Negara hukum yang dikembangkan saat itu oleh Plato dan Aristoteles, guru dan murid yang dijuluki sebagai The Philosoper. Plato misalnya, dalam Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (The Philosopher King). The Philosopher King dituntut untuk mengajarkan dan mengedepankan kebijakan yang akan menjamin terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berkeadilan.

Juga, dalam bukunya, The Statesman dan The Law, Plato mengemukakan pandangannya tentang supremasi hukum. Menurutnya, pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Dalam The Law, hukum adalah logismos atau reasoned thought (pikiran yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Plato menolak pandangan dan anggapan bahwa otoritas hukum bertumpu semata-mata pada kemauan dan kehendak governing power (pihak-pihak yang memangku kekuasaan).

Aristoteles, murid Plato, juga berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya. Berangkat dari pemikiran tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi; pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan dan tekanan. Perlawanan terhadap absolutisme yang melahirkan raja-raja yang memilki kekuasaan mutlak pada abad pertengahan, akhirnya bermuara pada munculnya gagasan negara hukum.

Pada mulanya, kata “konstitusi”, berasal dari bahasa Perancis “constituer”, yaitu sebagai suatu ungkapan yang berarti membentuk. Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu negara. Dengan kata lain, secara sederhana, konstitusi dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan.

Namun secara terminologi, konstitusi tidak hanya dipahami dengan arti yang sesederhana itu. Konstitusi dipahami secara lebih luas, selain dikarenakan oleh kompleksitasnya permasalahan mendasar yang harus diatur oleh negara, juga dikarenakan oleh perkembangan pemikiran terhadap keilmuan dalam memahami konstitusi sebagai hukum dasar (gronwet) dalam suatu negara.

Terlepas dari pendefinisian tentang konstitusi di atas, terdapat juga keanekaragaman dari para ahli dalam memandang konstitusi. Leon Duguit misalnya, seorang sarjana dari Perancis yang terkenal dengan karya-karyanya dalam bidang sosiologi hukum. Dalam bukunya traite de droit constututionnel, dia memandang negara dari fungsi sosialnya. Pemikiran Duguit banyak dipengaruhi oleh aliran sosiologi yang diprakarsai oleh Auguste Comte, menurutnya hukum itu adalah penjelmaan de facto dari ikatan solidaritas sosial yang nyata. Dia juga berpendapat bahwa yang berdaulat itu bukanlah hukum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang, melainkan yang terjelma di dalam sociale solidariteit (solidaritas sosial). Oleh karena itu, yang harus diataati adalah sosiale recht itu. Bukan undang-undang yang hanya mencerminkan sekelompok orang yang kuat dan berkuasa.

Selain itu, Ferdinand Lasalle, dalam bukunya uber verfassungwesseng, membagi konstitusi dalam dua pengerian, yaitu sebagai berikut:

1.      Pengertian Sosiologis dan Politis, konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat. Dinamika hubungan kekuatan-kekuatan politik yang nyata itu dipahami sebagai konstitusi.

2.      Pengertian yuridis (juridische begrip, konstitusi dilihat sebagi naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan dasar negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Menurutnya konstitusi pada dasarnya adalah apa yang tetulis di atas kertas Undang-Undang Dasar mengenai lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, sendi-sendi dasar pemerintahan.

Di samping Ferdinand Lasalle, K.C. Wheare, salah seorang pakar konstitusi modern, dikutip dalam buku Jazim Hamidi yang berjudul Hukum Perbandingan Konstitusi berujar, “…it use to describe the whole system of government of a country, the collection of rules which establish and regulate or govern the governmonet”. Konstitusi dalam pandangan Wheare tersebut di atas, selain dipahami sebagai istilah untuk menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara, juga sebagai kumpulan aturan yang membentuk dan mengatur atau menentukan pemerintahan negara yang bersangkutan.

Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, mendefinisikan konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Hal tersebut tidak terlepas karena tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-undang Dasar. kerajaan Inggris misalnya, tidak memiliki satu naskah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis, namun biasa disebut sebagai negara konstitusional.


Sumber : www.negarahukum.com