Bersamaan dengan teori
Negara hukum, konstitusi berdasarkan kilas sejarah telah ada sejak zaman Yunani
Kuno. Hal ini berdasarkan teori Negara hukum yang dikembangkan saat itu oleh
Plato dan Aristoteles, guru dan murid yang dijuluki sebagai The Philosoper. Plato misalnya, dalam Republic berpendapat bahwa adalah mungkin
mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk
itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang
filosof (The Philosopher King). The Philosopher King dituntut
untuk mengajarkan dan mengedepankan kebijakan yang akan menjamin
terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berkeadilan.
Juga, dalam bukunya, The Statesman dan The
Law, Plato mengemukakan pandangannya tentang supremasi hukum.
Menurutnya, pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang
adalah pemerintahan oleh hukum. Dalam The Law, hukum
adalah logismos atau reasoned thought (pikiran
yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Plato menolak pandangan
dan anggapan bahwa otoritas hukum bertumpu semata-mata pada kemauan dan
kehendak governing power (pihak-pihak yang memangku
kekuasaan).
Aristoteles, murid Plato,
juga berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai kehidupan yang
paling baik (the best life possible) yang
dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif
warga negara (collective wisdom), sehingga
peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya. Berangkat dari pemikiran
tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara yang baik adalah negara
yang diperintah dengan konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi; pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan
umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasar ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
mengesampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan
berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat,
bukan berupa paksaan dan tekanan. Perlawanan terhadap absolutisme yang
melahirkan raja-raja yang memilki kekuasaan mutlak pada abad pertengahan,
akhirnya bermuara pada munculnya gagasan negara hukum.
Pada mulanya, kata
“konstitusi”, berasal dari bahasa Perancis “constituer”, yaitu
sebagai suatu ungkapan yang berarti membentuk. Oleh karena itu, pemakaian kata
konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau
menyatakan suatu negara. Dengan kata lain, secara sederhana, konstitusi dapat
diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara,
yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan.
Namun secara terminologi,
konstitusi tidak hanya dipahami dengan arti yang sesederhana itu. Konstitusi
dipahami secara lebih luas, selain dikarenakan oleh kompleksitasnya
permasalahan mendasar yang harus diatur oleh negara, juga dikarenakan oleh
perkembangan pemikiran terhadap keilmuan dalam memahami konstitusi sebagai
hukum dasar (gronwet) dalam suatu negara.
Terlepas dari pendefinisian
tentang konstitusi di atas, terdapat juga keanekaragaman dari para ahli dalam
memandang konstitusi. Leon Duguit misalnya, seorang sarjana dari Perancis yang
terkenal dengan karya-karyanya dalam bidang sosiologi hukum. Dalam bukunya traite de droit constututionnel, dia memandang negara
dari fungsi sosialnya. Pemikiran Duguit banyak dipengaruhi oleh aliran
sosiologi yang diprakarsai oleh Auguste Comte, menurutnya hukum itu adalah
penjelmaan de facto dari ikatan
solidaritas sosial yang nyata. Dia juga berpendapat bahwa yang berdaulat itu
bukanlah hukum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang, melainkan yang
terjelma di dalam sociale solidariteit (solidaritas
sosial). Oleh karena itu, yang harus diataati adalah sosiale recht itu. Bukan undang-undang yang hanya
mencerminkan sekelompok orang yang kuat dan berkuasa.
Selain itu, Ferdinand
Lasalle, dalam bukunya uber verfassungwesseng,
membagi konstitusi dalam dua pengerian, yaitu sebagai berikut:
1. Pengertian
Sosiologis dan Politis, konstitusi dilihat sebagai sintesis antara
faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat. Dinamika hubungan
kekuatan-kekuatan politik yang nyata itu dipahami sebagai konstitusi.
2. Pengertian
yuridis (juridische begrip, konstitusi dilihat sebagi naskah
hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan dasar negara dan
sendi-sendi pemerintahan.
Menurutnya konstitusi pada dasarnya adalah
apa yang tetulis di atas kertas Undang-Undang Dasar mengenai lembaga-lembaga
negara, prinsip-prinsip, sendi-sendi dasar pemerintahan.
Di samping Ferdinand
Lasalle, K.C. Wheare, salah seorang pakar konstitusi modern, dikutip dalam buku
Jazim Hamidi yang berjudul Hukum Perbandingan Konstitusi berujar, “…it use to describe the whole system of government of a country,
the collection of rules which establish and regulate or govern the
governmonet”. Konstitusi dalam pandangan Wheare tersebut di
atas, selain dipahami sebagai istilah untuk menggambarkan keseluruhan sistem
pemerintahan suatu negara, juga sebagai kumpulan aturan yang membentuk dan
mengatur atau menentukan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, mendefinisikan konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Hal tersebut tidak terlepas karena tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-undang Dasar. kerajaan Inggris misalnya, tidak memiliki satu naskah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis, namun biasa disebut sebagai negara konstitusional.
Sumber : www.negarahukum.com